Oleh : Yunal Isra
Hadis Dhoif kalau merujuk kepada Ilmu Musthalah Hadis, merupakan tingkatan hadis paling rendah setelah hadis Sahih dan Hasan. Hadis ini dikatakan dhoif hanya karena penisbatannya yang tidak begitu meyakinkan kepada Rasulullah Saw yang disebabkan oleh beberapa hal seperti silsilah sanadnya yang terputus, rawinya yang kurang kuat ingatannya, dan lain sebagainya. Lantas apakah hadis ini sama dengan hadis Maudhu’ (palsu) secara otomatis? Hal ini akan dijelaskan dalam tulisan sederhana ini.
Syekh Khalil ibn Ibrahim dalam sebuah karyanya Khuthurah Musawah al-Hadits al-Dho’if bi al-Maudhu’ menjelaskan secara panjang lebar terkait perbedaan itu. Ia mengecam sebagian kalangan yang menyamakan hadis Dho’if dengan hadis palsu. Keduanya mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Menyamakan keduanya termasuk sebuah kesalahan fatal dalam ber-istidlal (menggali hukum agama), apalagi oleh mereka yang dilabeli sebagai ustadz ataupun bahkan ulama oleh masyarakat.
Syekh Khalil menjelaskan di antara perbedaan hadis Dhoif dengan Maudhu’ adalah sebagai berikut :
إن الحديث الضعيف هو في الأصل منسوب إلى النبي المصطفى الكريم صلى الله عليه وسلم بخلاف الموضوع، فهو مكذوب مختلق مصنوع.
Artinya : Hadis Dhoif pada dasarnya tetap dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw, berbeda dengan hadis Maudhu’ yang merupakan kebohongan yang diada-adakan (atas nama Nabi Saw).
Selain itu, penyebab dhoifnya sebuah hadis hanya karena keterputusan sanadnya, atau kelemahan-kelemahan yang bersifat manusiawi dari para perawinya seperti lemahnya daya ingat, sering ragu ataupun tersalah dalam menyampaikan sesuatu. Sedangkan hadis Maudhu’ adalah hadis yang tidak bersumber sama sekali dari Nabi Muhammad Saw. Kemudian hadis Dhoif boleh meriwayatkannya secara ijmak, sedangkan hadis Maudhu’ tidak boleh diriwayatkan sama sekali kecuali dengan menjelaskan kepalsuannya.
Selanjutnya, hadis Dhoif tetap diamalkan oleh para ulama secara ijmak dalam hal-hal yang berkaitan dengan keutamaan (fadhoil), anjuran kebaikan dan larangan keburukan. Sedangkan hadis Maudhu’ haram untuk diamalkan. Serta hadis Dhoif akan naik derajatnya menjadi Hasan Lighairihi ketika ada sanad lain yang memperkuat kebenarannya, sedangkan hadis palsu tidak akan mengalami kenaikan status, sekalipun mempunyai puluhan ataupun bahkan ratusan hadis pendukung dari jalur yang berbeda-beda.
Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Durr al-Mandhud, sebagaimana yang dikutip juga oleh Sayyid Muhammad dalam karyanya Madza fi Sya’ban menyebutkan :
وقد اتفق الأئمة من المحدثين والفقهاء وغيرهم كما ذكره النووي وغيره على جواز العمل بالحديث الضعيف في الفضائل والترغيب والترهيب، لا في الأحكام ونحوها ما لم يكن شديد الضعف.
Artinya : Para imam dari kalangan ahli hadis dan ahli fikih telah sepakat, sebagaimana yang disebutkan juga oleh Imam al-Nawawi dan lainnya, tentang bolehnya beramal dengan hadis Dho’if dalam hal fadhail (keutamaan-keutamaan), anjuran kebaikan dan ancaman keburukan. Tidak dalam perkara yang berkaitan dengan hukum halal dan haram, selama tingkat kedhoifannya tidak terlalu parah.
Melihat banyaknya perbedaan itu, maka sangat naif kiranya kalau ada seseorang yang begitu entengnya membuang hadis Dhoif seolah-olah ia bukan (tidak tergolong) sebagai hadis Nabi sama sekali. Sementara itu di sisi lain, tidak terhitung banyaknya ulama yang mengamalkan hadis-hadis Dhoif selama kedhoifannya tidak terlalu parah dan tidak mempunyai hadis pendukung dari jalur atau sanad yang lain. Berikut penulis kutipkan beberapa pendapat ulama terkait hal tersebut :
Pertama, Imam Nawawi dalam Fatawa-nya menyebutkan bahwa adanya konsensus di kalangan ulama terkait bolehnya mengamalkan hadis Dho’if untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum halal dan haram. Kedua, boleh mengamalkannya secara mutlak dalam persoalan hukum ketika tidak ditemukan lagi hadis sahih yang bisa dijadikan sebagai sandaran. Pendapat ini dinisbatkan kepada Imam Ahmad dan Abu Daud. Selain itu Imam Abu Hanifah dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah juga mengutip pendapat tersebut.
Ketiga, hadis Dho’If boleh diamalkan jika ia tersebar secara luas dan masyarakat menerimanya secara umum tanpa adanya tolakan yang berarti (talaqqathu al-ummah bi al-qabul). Keempat, boleh mengamalkannya ketika hadis dhoif tersebut didukung oleh jalur periwayatan lain yang sama atau lebih kuat secara kualitas darinya, sebagaimana yang ditampilkan oleh Imam al-Tirmidzi pada beberapa hadis dalam karyanya. Wallahu A’lam