Money Politics Perspektif Hukum Islam

Oleh : Yunal Isra

 

Tidak lama lagi beberapa daerah di Pulau Jawa akan menyelenggarakan Pilkada. Namun dalam pesta rakyat lima tahunan itu seringkali diwarnai oleh berbagai manuver politik para aktivis parpol dalam rangka menaikkan popularitas partai atau kader mereka, mulai dari mencuri start kampanye, membuat isu-isu negatif yang mendiskreditkan lawan politiknya, hingga ke money politics (melakukan politik uang), Ali Mustafa Yaqub menyebutnya dengan political money atau uang politik. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimanakah pandangan Islam terkait fenomena tersebut?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita perjelas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan istilah Money Politics atau politik uang itu. Karena merupakan sebuah kesalahan yang teramat fatal bagi seorang hakim bila ia menghukumi sesuatu, namun belum mengetahui substansinya. Dalam berbagai sumber yang membahas tema di atas disebutkan bahwa politik uang adalah suatu bentuk pemberian baik berupa uang, barang, maupun janji terhadap seseorang supaya ia tidak menjalankan haknya untuk memilih ataupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum sesuai dengan keinginan oknum yang memberi.

Praktek seperti ini umumnya dilakukan oleh para simpatisan parpol, kader, dan bahkan pengurus parpol itu sendiri menjelang pemilihan umum dilangsungkan. Sehingga pada akhirnya para calon yang diusung oleh parpol yang bersangkutan dapat memperoleh suara terbanyak serta menduduki jabatan sebagai kepala daerah, anggota DPR, presiden dan lain-lain sesuai dengan kedudukan yang mereka inginkan. Pengertian seperti ini mempunyai makna yang sama dengan suap atau yang disebut juga dengan risywah dalam bahasa agamanya.

Al-Fayumi dalam al-Misbah dan al-Jurjani dalam Ta’rifat-nya menerangkan bahwa risywah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain dengan tujuan menyembunyikan kebenaran ataupun membenarkan sebuah kebatilan. Maka berdasarkan keterangan ini, kami melihat bahwa money politics pada hakikatnya merupakan bagian dari risywah itu sendiri. Risywah menurut mayoritas ulama hukumnya adalah haram berdasarkan ketetapan Allah Swt dalam al-Qur’an dan Rasulullah Saw dalam hadisnya. Allah Swt berfirman dalam Q.S al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi :

 

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

 

Artinya : Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahuinya.

 

Rasulullah SAW juga pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dalam Sunan mereka serta Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari Abdullah ibn Amr, ia berkata :

 

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

 

Rasulullah SAW melaknat orang yang memberi dan menerima suap.

 

Dalam riwayat Ahmad disebutkan dengan sedikit tambahan redaksi الرائش في الحكم yaitu penghubung antara si pemberi dengan si penerima suap. Artinya masing-masing dari mereka mempunyai status hukum yang sama, sama-sama dilaknat oleh Rasulullah Saw. Badruddin al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari syarh Shahih al-Bukhari menggarisbawahi bahwa laknat Rasulullah Saw tersebut juga mengandung arti laknat dari Allah Swt secara otomatis, karena apa yang dilaknat Allah pasti juga dilaknat oleh rasul-rasul-Nya.

Imam Abu Daud memberi tema hadis di atas dengan nama bab fi karahiyah al-risywah (Bab Tentang Terlarangnya Menyuap), namun larangan di sini mengandung makna haram sebagaimana yang dijelaskan juga oleh Abdul Muhsin al-‘Ubbad dalam kitabnya Syarah Sunan Abi Daud. Asumsi ini diperkuat lagi oleh salah satu kaedah dalam Ilmu Ushul Fikih yang menyatakan bahwa sebuah perkara yang diancam dengan laknat, azab, ataupun hal-hal buruk lainnya mempunyai implikasi makna keharaman perbuatan yang dilaknat tersebut serta dianggap sebagai dosa besar.

Di samping itu, Rasulullah Saw juga pernah bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya :

 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “ثلاثة لا ينظر الله إليهم يوم القيامة ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم، رجل كان له فضل ماء بالطريق فمنعه من ابن السبيل، ورجل بايع إماما لا يبايعه إلا لدنيا فإن أعطاه منها رضي وإن لم يعطه منها سخط، ورجل أقام سلعته بعد العصر، فقال “والله الذي لا إله غيره لقد أعطيت بها كذا وكذا، فصدقه رجل ” ثم قرأ هذه الآية: ) إن الذين يشترون بعهد الله وأيمانهم ثمنا قليلا). رواه البخاري

 

Rasulullah SAW bersabda “ada 3 golongan yang mana Allah SWT tidak akan memperhatikan mereka pada hari Kiamat, tidak pula menyucikan mereka, dan bagi mereka azab yang pedih. Pertama, seseorang yang mempunyai kelebihan air, namun enggan untuk berbagi dengan orang lain yang membutuhkan (ibn sabil). Kedua, seseorang yang mengangkat pemimpin karena kepentingan dunia, jika ia diberinya hal tersebut maka dia reda namun jika tidak dia akan marah. Ketiga, seseorang yang mengangkat senjata setelah Salat Ashar”. Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan sabdanya “Demi Allah yang tiada tuhan selain-Nya, sungguh akan kuberikan kepadanya hal ini dan itu”, maka seorang laki-laki membenarkan perkataan beliau sembari membaca Surah Ali ‘Imran ayat 77 “Sesungguhnya orang-orang yang memperjualbelikan janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga murah, mereka itu tidak memperoleh bagian di akhirat, Allah tidak akan memperhatikan mereka pada hari Kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka azab yang pedih”. (H.R. al-Bukhari)

 

Selain itu, sebuah kaedah fikih juga menegaskan :

 

ما حرم أخذه حرم إعطاءه
Sesuatu yang haram mengambilnya, haram pula memberikannya. Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nazhair memberikan contoh aplikasi kaedah ini dengan kasus pemberian suap oleh seseorang kepada hakim dalam rangka menyembunyikan kebenaran. Maka dalam kasus ini memberikan suap mempunyai implikasi hukum haram, sehingga memberikannya (suap) kepada orang lain juga secara otomatis juga dilarang dalam agama, begitu pula dengan kasus money politics yang mempunyai kandungan makna yang sangat mirip dengan kasus di atas.

Memang dalam beberapa kasus, seseorang dibolehkan melakukan risywah jika bertujuan agar si pemberi suap bisa mendapatkan hak-hak yang semestinya ia dapatkan atau demi tegaknya kebenaran dan hilangnya kebatilan. Terkait dengan hal ini, Ibn Hajar al-Haitami dalam Tuhfah-nya menjelaskan “Secara umum risywah dibagi menjadi dua, risywah yang diharamkan dan yang dibolehkan. Faktor pembeda di antara keduanya adalah tujuan pemberi, apakah pemberian tersebut ditujukan untuk hal-hal yang batil atau tidak”. Akan tetapi, walaupun risywah seperti ini dibolehkan bagi si pemberi, namun tetap diharamkan bagi si penerima.

Sebagai kesimpulan tulisan ini adalah money politik merupakan salah satu jenis dari risywah yang diharamkan apabila tujuannya untuk menyembunyikan kebenaran ataupun membenarkan sebuah kebatilan. Fatwa serupa juga telah dikeluarkan oleh Majlis Ulama Indonesia pada tahun 2000 yang lalu, bahkan dalam fatwa tersebut ditegaskan bahwa segala bentuk suap, uang pelicin, korupsi berjamaah, dan money politics hukumnya adalah haram. Selain melanggar hukum agama, perbuatan seperti ini juga melanggar hukum Negara yang mempunyai sanksi hukum yang tidak ringan, serta merusak tatanan kehidupan masyarakat. Allahu A’lam

Post Author: admin LQ

berbagi manfaat, tebarkan kebaikan #Allahu akbar #NasihatHati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *