Celana Cingkrang, Haruskah?

Salah satu di antara persoalan yang menyulut kontroversi di kalangan umat Islam saat ini adalah persoalan isbal atau menjulurkan pakaian hingga melebihi mata kaki. Sebagian kalangan dari umat ini menyuarakan keharaman pakaian tersebut. Mereka berdalih bahwa orang yang isbal telah melanggar aturan agama atau tepatnya telah menyalahi sunah Rasulullah Saw. Menurut mereka, Rasulullah Saw sangat melarang umatnya untuk berpakaian melebihi mata kakinya. Sementara itu, bagi umat Islam yang sudah terbiasa dengan pakaian di bawah mata kaki merasa kaget dan tidak menyangka sama sekali kalau model berpakaian mereka ternyata masuk dalam wilayah agama. Padahal tidak sedikit dari mereka yang berpakaian seperti itu hanya berniat untuk kenyamanan semata-mata.

Memang benar, sangat banyak hadis-hadis Nabi yang berbicara terkait dengan persoalan tersebut. Misalnya saja sebuah riwayat yang terekam baik oleh Imam al-Bukhari dan al-Nasa’i dalam kitab-kitab mereka yang bersumber dari Saydina Abu Hurairah di mana ia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Pakaian yang melebihi dua mata kaki tempatnya adalah di neraka”. Begitu juga dengan hadis sahih riwayat Ahmad yang juga berasal dari Abu Hurairah di mana beliau mendengar Rasulullah berkata bahwa, “Allah tidak akan melihat pada hari kiamat kepada orang yang menjulurkan pakaiannya (hingga di bawah mata kaki)”. Kedua hadis di atas (tanpa membandingkannya dengan hadis lain) menjadi dalil kuat atas keharaman isbal menurut kalangan yang mengharamkannya.

Namun ketika kita himpun semua riwayat terkait permasalahan ini, maka akan kita dapati bahwa dua hadis di atas hanyalah salah satu di antara beberapa corak riwayat yang berbicara tentang isbal. Banyak hadis lain yang memberikan keterangan lebih lengkap ketimbang dua hadis di atas. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari yang bersumber dari Saydina Ibn Umar di mana ia berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Kelak di hari kiamat Allah Swt tidak akan melihat kepada orang yang menjulurkan pakaiannya (hingga di bawah mata kaki) karena sombong”. Jelas terlihat bahwa pada hadis ini terdapat tambahan redaksi dari hadis sebelumnya, yaitu kata-kata “karena sombong”.

Bahkan di riwayat lain dalam Shahih al-Bukhari dijelaskan juga, ketika Rasulullah menyebutkan hal tersebut, Saydina Abu Bakr al-Shiddiq menyela seraya berkata, “Wahai Rasulallah, salah satu ujung sarungku agak longgar/lebar (hingga melewati mata kaki), namun aku selalu menjaganya? Lalu Rasul menjawab, ”Engkau bukan dari mereka yang melakukannya karena sombong wahai Abu Bakr”. Selain itu, sebenarnya masih banyak hadis-hadis lain yang senada dengan dua hadis terakhir yang intinya menegaskan bahwa larangan menjulurkan pakaian hingga melebihi dua mata kaki adalah haram ketika diiringi oleh rasa sombong pemakainya.

Keempat hadis di atas mempunyai derajat yang sama-sama sahih ditinjau dari kualitas sanadnya. Hanya saja, redaksi dua hadis pertama terlihat umum dan mempunyai cakupan yang luas. Yaitu setiap orang yang berpakaian di bawah mata kaki maka tempatnya adalah di neraka, dalam artian berpakaian secara isbal adalah haram sama sekali, baik diiringi rasa sombong pemakainya ataupun tidak. Sementara itu dua hadis terakhir memberikan informasi tambahan kepada kita bahwa keharaman isbal akan berlaku jika pelakunya merasa sombong dan berbesar hati dengan penampilan seperti itu. Namun jika penampilan seperti itu tidak diiringi oleh rasa sombong, maka ia tidak terkategori sebagai isbal yang diharamkan.

Perlu diketahui di sini bahwa salah satu hal yang mendorong Nabi Saw mengungkapkan pernyataan di atas menurut Fathul Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, Karya Imam Ibn Hajar al-‘Atsqalani adalah karena beliau melihat masih banyaknya kaum muslimin yang hidup di bawah garis kemiskinan kala itu. Bahkan dalam hal berpakaian sekalipun masih banyak di antara mereka yang hanya mempunyai satu pakaian yang melekat di tubuh, itupun dengan jenis kain dan ukuran yang pas-pasan alias pendek (di atas mata kaki). Sementara itu sebagian yang lain memperlihatkan kekayaannya dengan mengenakan pakaian secara berlebihan, menjulurkannya hingga melebihi mata kaki mereka. Berdasarkan faktor tersebut muncullah anggapan bahwa pakaian yang melebihi mata kaki adalah pakaian orang-orang yang sombong sehingga Rasul pun melarangnya dengan ancaman keras seperti di atas.

Lantas, tentu kita akan bertanya bagaimana cara menganalisa beberapa hadis di atas? Dalam penelitian hadis dikenal istilah al-wihdah al-mudhu’iyyah fi al-hadits (kesatuan tema-tema dalam hadits). Istilah tersebut mengandung pengertian bahwa sebuah hadis berpotensi menjelaskan maksud hadis yang lain, sebagaimana halnya dalam Ilmu al-Qur’an, setiap ayat berpotensi menjelaskan maksud ayat lainnya. Hal ini dimaklumi karena sebuah hukum pada hakikatnya muncul dari sumber yang satu, yaitu Allah Swt melalui perantara utusan-Nya Nabi Muhammad Saw. Sehingga secara logika tidak akan mungkin ditemukan sebuah keterangan yang bertolak belakang dengan keterangan lain dalam menjelaskan tema/hukum yang sama.

Sementara itu, dalam salah satu kaedah Ilmu Ushul Fikih disebutkan bahwa manakala ada dua dalil muncul secara bersamaan. Satu di antaranya berbentuk mutlaq (umum) dan yang lain berbentuk muqayyad (disertai penjelasan), maka hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad harus diberlakukan pada ayat yang mutlaq, karena ayat yang muqayyad dinilai lebih detail dan mempunyai dalalah (penunjukan terhadap hukum) yang lebih tepat ketimbang ayat yang bersifat mutlaq. Berdasarkan kaedah tersebut, maka hadis pertama dan kedua maknanya harus dikompromikan dengan hadis ketiga dan keempat. Isbal baru dianggap haram ketika pelakunya dimotifasi oleh sifat sombong ketika mengenakannya.

Pemahaman seperti ini juga direkomendasikan oleh Imam Nawawi ketika menjelaskan makna hadis tersebut dalam Syarah Shahih Muslim­-nya dan al-Hafidz Ibn Hajr al-Atsqalani dalam Fath al-Bari­-nya. Di samping itu, hadis yang kedua mempunyai ilat yang disebutkan secara langsung dalam teksnya atau yang disebut juga al-‘illah al-manshushah, yaitu kata-kata “sombong” yang memberikan sinyalemen kepada kita bahwa keberadaan sombong itulah yang menjadi penyebab keharaman isbal. Sebuah kaedah Ushul Fikih lainnya juga menyebutkan bahwa hukum sebuah perbuatan akan berlaku berdasarkan keberadaan ilatnya, jika ilat tersebut ada maka hukum juga akan ada dan sebaliknya jika ilatnya hilang maka hukum terkait persoalan tersebut juga tidak akan berlaku.

Beberapa argumentasi di atas, sekali lagi, memberikan bukti kongkrit kepada kita bahwa rasa sombong adalah penyebab utama keharaman isbal. Sehingga dengan demikian pada dasarnya setiap perbuatan yang dimotivasi oleh rasa sombong oleh pelakunya maka perbuatan tersebut adalah terlarang untuk dilakukan, sekalipun hukum asalnya hanya boleh semata. Termasuk mengenakan sorban ataupun jenggot di daerah yang tidak membiasakan tradisi seperti itu. Jika penampilan tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mencari popularitas (baca syuhrah dalam bahasa hadisnya) misalnya, atau untuk memperlihatkan keagungan diri ataupun kezuhudan hati kepada orang lain, maka perbuatan seperti ini bukannya disunahkan, malahan justru diharamkan oleh agama.

Rasulullah Saw dalam sebuah hadisnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dalam Sunan-nya menyebutkan bahwa barangsiapa yang mengenakan pakaian syuhrah (popularitas dengan tujuan agar dikenal orang-orang) di dunia, maka Allah akan memakaikan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat kelak, lalu menyalakan api neraka di dalamnya. Berdasarkan hadis tersebut maka tidak diragukan lagi bahwa memakai sorban ataupun tampilan-tampilan sejenis yang berbeda dengan tradisi masyarakat di mana yang bersangkutan menetap adalah bagian dari pakaian syuhrah yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya.

Kyai Ali Mustafa Yaqub dalam beberapa karyanya mengeritik keras sebagian kalangan yang tidak bisa membedakan antara budaya dengan agama dalam memahami teks-teks hadis. Gaya berpakaian dan penampilan seperti memakai sorban, gamis, ataupun berambut panjang serta berjenggot lebat hanyalah tradisi Arab yang kebetulan juga diikuti oleh Rasulullah Saw. Sehingga sangat amat keliru kalau hal-hal tersebut dianggap sebagai bagian dari agama Islam yang akan menyebabkan setiap mereka yang tidak mengenakannya dianggap berdosa dan menyalahi ajaran agama. Hal tersebut dijelaskan secara detail oleh Kyai Ali dalam karyanya al-Thuruq al-Shahihah fi Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah.

Terkait dengan sifat sombong yang menjadi ilat keharaman isbal di atas dijelaskan secara gamblang dalam beberapa hadis Nabi yang lain, di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya di mana Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan masuk sorga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sekalipun sebesar biji sawi”. Begitu juga dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud bahwa Allah Swt pernah berfirman dalam sebuah hadis qudsi, “Rasa sombong adalah sorban-Ku, sedangkan keagungan adalah sarung-Ku. Barangsiapa yang menyaingi-Ku dalam hal tersebut maka Aku akan mengazabnya di neraka”. Terlalu besar kemarahan Allah terhadap orang yang sombong, sehingga sangat wajar kiranya pelaku isbal yang dilatari oleh rasa sombong pada masa Rasulullah Ia haramkan untuk kaum muslimin.

Sebagai penutup dari tulisan sederhana ini, kalau ada yang bertanya manakah yang lebih baik berpakaian secara isbal atau tidak jika tidak diiringi oleh rasa sombong? Jawabannya adalah, sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim-nya, pakaian yang terbaik adalah pakaian yang menutupi aurat dan tidak berlebihan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bagi orang yang nyaman berpakaian secara cingkrang (di atas mata kaki) karena mungkin ia khawatir terhadap kesuciannya kalau terlalu panjang, maka hal itu adalah baik selama ia tidak merasa hanya dialah satu-satunya orang yang mengamalkan sunah Rasulullah Saw (alias sombong/ujub dengan penampilan tersebut).

Sedangkan bagi mereka yang nyaman dengan pakaian melebihi mata kaki juga dibolehkan, dengan catatan tidak berlebihan (tidak terseret sampai ke tanah karena hal seperti ini dihukumi makruh oleh mayoritas ulama serta tidak menjamin kesucian pakaian) serta juga tidak diiringi oleh rasa sombong ketika mengenakannya. “Sebaik-baik amalan adalah yang di pertengahan (adil)”, begitu kira-kira Rasulullah berpesan kepada para sahabat dalam sebuah hadisnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab ai-Imannya. Akhirnya penulis berharap agar kita semua dapat menjaga ukhuwah antar sesama umat Islam dengan cara saling menghormati serta menasehati dengan cara yang bijak. Allahu A’lam

Oleh : Yunal Isra

Peneliti El-Bukhari Institute

Living Qur’an  – Pusat Studi Al-Qur’an

Jl Kertamukti No. 63 Kel Pisangan, Kec Ciputat Timur,

Tangerang Selatan – Banten – Indonesia

+621 – 742 1661 Fax : +621 742 1822 Call Centre: +62 812 1918 0562

www.psq.or.id – www.livingquran.or.id

Sebarkan

Post Author: admin LQ

berbagi manfaat, tebarkan kebaikan #Allahu akbar #NasihatHati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *