Urgensi Kesholehan Sosial

Saleh dalam tinjauan kebahasaan merupakan kata serapan yang diadobsi dari bahasa Arab shalihun yang berarti baik atau bagus. Ibn Manzur menerangkan secara panjang lebar tentang makna kata shalihun tersebut dalam mu’jamnya Lisanul Arabi. Dalam perspektif agama Islam, saleh sering diterjemahkan sebagai suatu bentuk ketaatan dalam menjalankan perintah agama. Namun seiring berjalannya waktu kata itu pun mengalami penyempitan makna, sehingga seolah-olah hanya dipahami sebagai ketaatan yang bersifat vertikal semata. Dalam arti kata orang saleh itu adalah mereka yang menjalankan ibadah yang sifatnya individual saja, seperti shalat, puasa, haji dan lain-lain.

Pengarang tafsir Adhwaau al-Bayân fii Idhôhi al-Qur’an bi al-Qur’an menjelaskan ada tiga kriteria sebuah amalan bisa dikategorikan sebagai amalan saleh. Yaitu apabila amalan itu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, dikerjakan dengan niat ikhlas karena Allah, dan amalan tersebut berlandaskan akidah yang benar. Apabila ketiga syarat tersebut telah terpenuhi, maka secara otomatis orang yang mengerjakannya akan disebut sebagai orang saleh dan pekerjaannya pun akan dianggap sebagai amalan yang saleh. Akan tetapi manakala salah satunya luput, maka amalan tersebut dianggap lagho dalam artian tidak terklasifikasi sebagai amalan sama sekali.

Kalau dilihat selintas, kriteria saleh yang dijelaskan di atas terkesan sangat global, normatif, serta belum mempunyai cakupan yang khusus dalam aplikasinya. Ibnu A’syur dalam tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir menjelaskan pengertian saleh yang agaknya menjadi syarat tambahan dari tiga kriteria di atas. Syarat itu ialah amalan tersebut haruslah mengandung nilai kebaikan, baik untuk dunia ataupun akhirat orang yang mengerjakannya. Sehingga dapat dipahami melalui ungkapan tersebut bahwa amalan saleh itu tidak hanya terkait dengan dimensi akhirat semata, akan tetapi juga dimensi dunia. Baik buat yang mengerjakannya ataupun orang lain yang tidak mengerjakannya, hendaknya mendapatkan imbas dari amalan tersebut.

Melihat devinisi saleh di atas, nampaknya kita mempunyai tugas rumah yang lumayan berat pada saat ini. Yaitu bagaimana caranya membumisasikan pengertian saleh tersebut, sehingga tidak dipahami secara sempit sebagaimana pengertian awal di atas. Kita menganggap baik seandainya seseorang muslim itu melaksanakan ajaran agamanya dengan taat dan istiqamah. Tapi kita akan merasa miris tatkala melihat seorang muslim yang rajin shalat, rutin melaksanakan puasa, tak pernah lupa membayarkan zakat hartanya, akan tetapi dia lalai terhadap keadaan kaum muslimin yang ada disekitarnya. Dia kenyang dalam gulimang kemewahan yang Allah karuniakan kepadanya, akan tetapi dia tidak menghiraukan rintihan tetangga yang ada disebelah rumahnya.

Kita harus belajar banyak kepada para sahabat Anshar yang telah mengorbankan diri, harta, serta tenaganya untuk membantu kebutuhan muslim muhajirin pada waktu itu. Mereka mengutamakan kaum muhajirin daripada diri mereka sendiri sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Hasyr ayat 9. Mereka berani mati demi membela dan mempertahankan nyawa Rasulullah pada saat beliau dengan para sahabatnya hijrah ke Madinah.

Dalam konteks ibadah sosial misalnya, masih banyak masyarakat kita khususnya Indonesia ini yang belum begitu mengindahkannya. Salah satu bukti kongkritnya adalah kebiasaan dan tradisi naik haji berulang-ulang yang banyak dilakukan oleh orang-orang kaya di negeri ini. Tradisi itu terasa begitu mendarah daging dalam benak kebanyakan masyarakat golongan atas. Padahal masih banyak kaum fakir dan anak yatim yang terlantar di negeri ini, busung lapar tersebar dimana-mana, pengangguran bertambah banyak, serta kebobrokan moral generasi muda semakin parah. Tidakkah mereka memperhatikan hal itu?

Ali Mustafa Ya’qub dalam beberapa bukunya mengkritik keras praktek keagamaan seperti yang penulis tuturkan di atas. Beliau sangat lantang menyuarakan “perlawanan” terhadap pemahaman keagamaan tersebut, baik lewat oral atau pun lewat tulisan serta buku-buku beliau. Salah satu kutipan perkataan beliau dalam mengantarkan buku Berhaji Ulang Suatu Kezaliman adalah “sementara kita umat yang mengaku sebagai pengikut umat Nabi SAW ingin beribadah haji setiap tahun, ingin beribadah umrah setiap bulan dan setiap minggu. Padahal rata-rata keadaan umat Islam saat ini di segala penjuru dunia sangat memprihatinkan”.

Selain itu beliau juga menjelaskan bagaimana cara nabi melaksanakan ibadah haji “Sahabat Anas bin Malik ra. menuturkan bahwa Nabi SAW melakukan ibadah haji hanya satu kali saja dan umrah sebanyak empat kali. Semuanya dilakukan pada bulan Dzulqa’dah, kecuali umrah yang bersama ibadah haji”. Nabi lebih mengutamakan ibadah-ibadah sosial seperti jihad fisabiilillah, menyantuni anak-anak yatim, serta menyantuni mahasiswa-mahasiswa Shuffah. Jadi dapat disimpulkan bahwa nabi mendahulukan ibadah muta’addiyah (sosial) ketimbang ibadah qashirah (individual). Terus akankah kita akan melebihi Nabi dalam ibadah qashirah tersebut?

Dalam konteks lain KH. Sahal Mahfudz juga menjelaskan dalam Fiqh Sosial-nya bahwa sudah saatnya umat Islam memprioritaskan pengentasan kemiskinan, pemberdayaan pendidikan dan pelayanan kesehatan dengan kecamata fikih. Bagi Kiai Sahal, Fiqh bukanlah konsep dogmatif-normatif, akan tetapi konsep aktif-progresif. Sehingga fiqh (amalan keseharian seorang muslim) harus bersenyawa langsung dengan af’al al-mukallifin (sikap dan prilaku), kondisi, dan sepak terjang orang-orang muslim dalam semua aspek kehidupan, baik ibadah dalam artian ibadah qashirah (individual) maupun muamalah dalam cakupan ibadah muta’addiyah (interaksi sosial ekonomi). Semoga bermanfaat.

Penulis :

Yunal Isra

Post Author: admin LQ

berbagi manfaat, tebarkan kebaikan #Allahu akbar #NasihatHati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *