Al-ghuluww dalam beragama, yang menjauh dari wasathiyyah ditandai dengan beberapa sikap, antara lain :
- Fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu pandangan
Sikap fanatik yang berlebihan ini mengakibatkan seseorang menutup diri dari pandangan-pandangan lain, dan menganggap pandangan yang berbeda dengannya sebagai pandangan yang salah atau sesat. Padahal para salaf shaleh bersepakat menyatakan, setiap orang dapat diambil dan ditinggalkan pandangannya kecuali Rasulullah SAW. Perasaan bahwa dirinyalah yang paling benar membuat seseorang tidak bisa bertemu dengan lainnya, sebab pertemuan akan mudah terjadi jika berada di tengah jalan, sementara dia tidak tahu mana bagian tengah dan tidak mengakui keberadaannya.
Seakan dia memposisikan dirinya berada di timur dan orang lain di barat. Akan lebih berbahaya lagi jika kemudian diikuti dengan pemaksaan pendapat atau pandangan yang dianutnya kepada orang lain dengan menggunakan kekerasan, atau dengan melempar tuduhan sebagai ahli bid`ah atau sesat atau bahkan kafir terhadap mereka yang berbeda pandangan dengannya.
- Cenderung mempersulit
Dalam beragama, seseorang boleh saja berpegangan pada pandangan yang ketat terutama dalam masalah-masalah fiqih, seperti tidak menggunakan rukhshah/ keringanan atau kemudahan padahal itu dibolehkan, sebagai bentuk kehati-hatian. Tetapi akan kurang bijak jika kemudian ia mengharuskan masyarakat mengikutinya padahal kondisi mereka tidak memungkinkan, atau berdampak menyulitkan orang lain. Sebagai contoh menganjurkan masyarakat untuk melakukan ibadah sunat seakan ibadah wajib, atau sesuatu yang makruh diposisikan sebagai sesuatu yang haram. Apalagi hal itu dilakukan terhadap mereka yang baru mengenal Islam, atau baru bertobat dari kesalahan masa lampau.
Secara pribadi, atau dalam kesendirian, Rasulullah adalah seorang yang sangat kuat dalam beribadah, sampai-sampai setiap salat beliau memanjangkan bacaan atau salatnya sehingga kedua kakinya bengkak (kapalan). Tetapi manakala mengimami salat di masjid beliau memperhatikan kondisi jamaah yang sangat beragam dan tidak memperpanjang bacaan. Dalam salah satu sabdanya beliau berpesan (yang maknanya);
“Jika seseorang mengimami orang lain maka berilah keringanan (dengan memperpendek bacaan), sebab boleh jadi di antara mereka ada orang sakit, orang yang lemah, dan orang tua/ renta. Dan jika ia salat sendirian maka perpanjanglah sesuai kehendak (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Agama Islam itu penuh dengan kemudahan, dan tidak mempersulit manusia (QS. Al-Maidah : 6, QS. Al-Hajj : 78), karena itu “berikanlah kemudahan kepada orang lain, dan jangan persulit mereka”,demikian sabda Rasulullah (HR. Al-Bukhari dari Anas bin Malik).
- Berperasangka buruk kepada orang lain
Sikap merasa paling benar menjadikan seseorang berperasangka buruk kepada orang lain, dan melihat orang lain dengan kaca mata hitam, seakan tidak ada kebaikan pada orang lain, serta tidak berusaha memahami dasar pemikiran orang lain yang berbeda dengannya. Sehingga bila ada yang berbeda denganya seperti dalam hal memegang tongkat saat khutbah, atau makan di lantai seperti yang Nabi lakukan, dianggap tidak mengikuti sunnah atau tidak mencintai Rasul. Atau bila mendapati seorang ulama berfatwa dalam hukum yang memberi kemudahan dianggap telah menggampangkan atau sebagai sebuah keteledoran dalam beragama.
Padahal salaf shaleh mengajarkan agar setiap Muslim selalu berperasangka baik kepada orang lain dan berusaha memahami alasannya sampai pun bila ada tujuh puluh indikator kesalahan, sebab boleh jadi masih ada satu indikator lain yang menunjukkan dirinya benar. Sikap ini lahir dari rasa `ujub, atau merasa dirinyalah yang paling benar, dan itulah pangkal kebinasaan seperti kata Ibnu Mas`ud.
Sufi terkemuka Ibnu Athaillah mengingatkan, “boleh jadi Allah membukakan pintu ketaatan kepada seseorang tetapi tidak dibukakan baginya pintu diterimanya sebuah amal, dan boleh jadi seseorang ditakdirkan berbuat maksiat tetapi itu menjadi sebab seseorang mencapai keridaan Allah. Kemaksiatan yang melahirkan kehinaan atau perasaan bersalah lebih baik dari pada ketaatan atau kebaikan yang melahirkan rasa bangga diri dan sombong”.
- Mengkafirkan orang lain
Sikap ghuluww yang paling berbahaya manakala sampai pada tingkat mengkafirkan orang lain, bahkan menghalalkan darahnya. Ini pernah terjadi pada kelompok Khawarij di masa awal Islam yang sangat taat dalam beragama dan melaksanakan semua ibadah seperti puasa, salat malam dan membaca Al-Qur`an, tetapi karena pemikiran yang ghuluww mereka menghalalkan darah banyak orang Muslim. Sampai-sampai seorang ulama yang tertangkap oleh kelompok Khawarij agar terbebas dari pembunuhan mengaku dirinya sebagai seorang musyrik yang mencari perlindungan dan ingin mendengar firman Allah. Sesuai QS. Al-Tawbah : 6 orang itu harus dilindungi sampai betul-betul merasa aman. Justru seandainya dia mengaku sebagai seorang Muslim maka mereka akan membunuhnya.
Pandangan tatharruf atau ghuluww ini pula yang mengakibatkan terbunuhnya dua orang khalifah; Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Sayyiduna Usman dibunuh oleh sekelompok orang yang mengaku dirinya Muslim, dan melakukan pembunuhan atas dasar fatwa menyimpang yang menghalalkan darahnya karena dianggap kafir. Demikian pula Imam Ali yang dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang Khawarij. Bahkan dengan bangganya setelah berhasil membunuh Imam Ali dia berdoa kepada Allah, “Ya Allah terimalah jihadku, sesungguhnya saya melakukan itu demi Engkau dan di jalan Engkau”.
Apa yang dulu dilakukan kelompok Khawarij saat ini juga banyak ditemukan, yaitu dengan mengkafirkan para penguasa di negara-negara Muslim dengan alasan tidak menerapkan hukum Tuhan, bahkan mengkafirkan para ulama yang tidak mengkafirkan para penguasa itu, dengan alasan mereka yang tidak mengkafirkan orang kafir termasuk kafir.
Sesuai ajaran Rasul, seseorang tidak boleh dengan mudah mengafirkan orang lain, sebab berimplikasi hukum yang panjang seperti halal darahnya, dipisah dari isterinya (cerai paksa), tidak saling mewarisi, jika meninggal tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak disalatkan dan tidak dikubur di pekuburan Muslim. Seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, meskipun dalam keadaan terpaksa, adalah Muslim yang harus dilindungi.
Kemaksiatan, sampai pun itu dosa besar, tidak membuat seseorang keluar dari agama, selama tidak menolak hukum Allah. Demikian beberapa ciri dari sikap ghuluww atau tatharruf dalam beragama. Dengan mengetahui itu akan dengan mudah kita mengenali ciri-ciri wastahiyyah. Secara lebih rinci akan penulis urai dalam pembahasan berikut.
Penulis : Dr. Muchlis M Hanafi, MA. Buku Moderasi Islam. Penerbit : PT Lentera Hati
Living Qur’an – Pusat Studi Al-Qur’an
Jl Kertamukti No. 63 Kel Pisangan, Kec Ciputat Timur,
Tangerang Selatan – Banten – Indonesia
+621 – 742 1661 Fax : +621 742 1822 Call Centre: +62 812 1918 0562
www.psq.or.id – www.livingquran.or.id